Jakarta – Organized Crime and Corruption Reporting Project (OCCRP) telah mengumumkan bahwa Presiden ke-7 Republik Indonesia, Joko Widodo atau Jokowi, telah dinominasikan sebagai finalis Tokoh Kejahatan Terorganisir dan Korupsi 2024.
Pengakuan ini menempatkan Jokowi di antara lima tokoh terkemuka lainnya yang terpilih melalui proses nominasi global. Finalis lainnya termasuk Presiden Kenya William Ruto, Presiden Nigeria Bola Ahmed Tinubu, mantan Perdana Menteri Bangladesh Hasina, dan pengusaha India Gautam Adani.
“Kami meminta nominasi dari para pembaca, jurnalis, juri Person of the Year, dan pihak lain dalam jaringan global OCCRP,” demikian pernyataan OCCRP dalam situs resminya pada Selasa, 31 Desember 2024.
Presiden Kenya William Ruto menerima jumlah nominasi tertinggi untuk Angka Kejahatan Terorganisasi dan Korupsi 2024. Lebih dari 40.000 orang mengirimkan surat yang menominasikan Presiden Ruto untuk penghargaan ini.
Penerbit OCCRP Drew Sullivan mengatakan korupsi merupakan bagian mendasar dalam menguasai negara dan membuat pemerintahan otokratis menjadi berkuasa.
“Pemerintah yang korup ini melanggar hak asasi manusia, memanipulasi pemilu, menjarah sumber daya alam, dan akhirnya menciptakan konflik akibat ketidakstabilan yang mereka miliki. Satu-satunya masa depan mereka adalah keruntuhan yang penuh kekerasan atau revolusi berdarah,” kata Sullivan.
Pengadilan Rakyat: Dakwaan Terhadap Rezim Jokowi
Pada hari Selasa, 25 Juni 2024, Pengadilan Rakyat Luar Biasa menggelar Pengadilan Rakyat di Wisma Makara, Universitas Indonesia (UI), Depok, Jawa Barat, untuk mengadili pemerintahan Jokowi. Pengadilan ini berfokus pada apa yang disebut sebagai “sembilan dosa” atau “Nawadosa” rezim Jokowi.
Dakwaan pertama membahas perampasan ruang hidup dan pengucilan masyarakat. Dakwaan ini mencakup kritik terhadap berbagai kebijakan pemerintah, seperti proyek strategis nasional, UU Cipta Kerja, hilirisasi nikel, dan lumbung pangan, yang dianggap merugikan kesejahteraan rakyat.
Dakwaan kedua difokuskan pada kekerasan, penganiayaan, kriminalisasi, dan diskriminasi. Para penggugat mengajukan bukti-bukti tentang berbagai contoh kekerasan yang terjadi selama berbagai demonstrasi sipil.
Dakwaan ketiga membahas politik impunitas dan kejahatan terhadap kemanusiaan. Pengadilan berpendapat bahwa pemerintahan Jokowi menunjukkan kurangnya keseriusan dalam menangani berbagai kasus pelanggaran hak asasi manusia yang berat.
Dakwaan keempat difokuskan pada komersialisasi, standardisasi, dan subordinasi sistem pendidikan nasional. Para penggugat menyoroti isu kontroversial tentang biaya kuliah yang tinggi dan penerapan status Universitas Negeri sebagai Badan Hukum, yang dianggap telah menyebabkan meningkatnya biaya kuliah.
Dakwaan kelima menyangkut korupsi, kolusi, dan nepotisme, serta kegagalan pemerintah dalam menangani masalah-masalah tersebut secara memadai. Para penggugat menekankan revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada masa jabatan Jokowi, yang melemahkan lembaga antikorupsi tersebut. Lebih jauh, tuduhan kolusi dan nepotisme yang dinormalisasi selama Pemilihan Presiden 2024 juga diajukan.
Dakwaan keenam membahas eksploitasi sumber daya alam dan tanggapan pemerintah yang tidak memadai terhadap krisis iklim. Para penggugat berpendapat bahwa izin pertambangan diberikan tanpa pengawasan yang memadai dan bahwa negara gagal mendistribusikan keuntungan dari ekstraksi sumber daya kepada masyarakat secara efektif.
Dakwaan ketujuh difokuskan pada kebijakan ketenagakerjaan yang represif, khususnya mengutip pengesahan Undang-Undang Omnibus Law Cipta Kerja selama masa jabatan Jokowi.
Dakwaan kedelapan membahas pembajakan legislatif, dengan alasan bahwa pemerintah Jokowi gagal memberlakukan peraturan yang melayani kepentingan publik.
Dakwaan kesembilan dan terakhir difokuskan pada militerisme dan militerisasi. Para penggugat berpendapat bahwa rezim Jokowi berupaya mengintegrasikan kembali militer ke dalam ranah sipil. Sebagai contoh, mereka mengutip revisi Undang-Undang Aparatur Sipil Negara, yang memungkinkan pengangkatan prajurit militer dan anggota polisi pada posisi pegawai negeri sipil tertentu.